Tuntunan Qunut Nâzilah
TUNTUNAN QUNUT NAZILAH
Oleh
Ustadz Abu Ismail Muslim Atsari
MAKNA QUNUT NAZILAH
Qunut secara bahasa memiliki beberapa arti, yaitu: taat, diam, doa, lama berdiri. Adapun qunut secara istilah fiqih yaitu: doa di dalam shalat pada tempat yang khusus saat berdiri (yakni sesudah ruku’ pada roka’at terakhir). [Lihat: al-Mausu’ah al-Fiqhiyah al-Kuwaitiyah, 34/57]
Sedangkan Nâzilah artinya musibah besar (Lihat: Mu’jamul Wasith, 2/915, bab: na za la) Sehingga qunut Nâzilah artiya qunut yang dilakukan ketika musibah besar menimpa umat Islam.
HUKUM QUNUT NAZILAH
Qunut Nâzilah merupakan ibadah yang disyari’atkan menurut pendapat Hanafiyah, Hanabilah, dan masyhur dari pendapat Syafi’iyah dan sebagian Malikiyah. [Lihat: al-Mausû’ah al-Fiqhiyah al-Kuwaitiyah, 34/66-67]
NABI SHALLALLAHU ‘ALAIHI WA SALLAM MELAKUKAN QUNUT NAZILAH
Qunut Nâzilah pernah dilakukan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Paling sedikit Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan dalam tiga peristiwa, yaitu:
1. Qunut Nâzilah Sesudah Perang Uhud (tahun 3 H)
Hal ini diriwayatkan dalam beberapa hadits berikut ini:
Dari Salim, dari bapaknya (Abdullah bin Umar Radhiyallahu anhuma):
أَنَّهُ سَمِعَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا رَفَعَ رَأْسَهُ مِنَ الرُّكُوعِ مِنَ الرَّكْعَةِ الآخِرَةِ مِنَ الفَجْرِ يَقُولُ: اللَّهُمَّ العَنْ فُلاَنًا وَفُلاَنًا وَفُلاَنًا» بَعْدَ مَا يَقُولُ «سَمِعَ اللَّهُ لِمَنْ حَمِدَهُ، رَبَّنَا وَلَكَ الحَمْدُ» فَأَنْزَلَ اللَّهُ: {لَيْسَ لَكَ مِنَ الأَمْرِ شَيْءٌ} إِلَى قَوْلِهِ – {فَإِنَّهُمْ ظَالِمُونَ}
Bahwa dia mendengar Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam jika telah mengangkat kepalanya dari ruku’ pada raka’at akhir dari shalat subuh, beliau berdoa, “Ya Allâh, laknatlah Fulan, dan Fulan, dan Fulan!”, yaitu setelah Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengucapkan “Sami’allâhu liman hamidah, Rabbanâ wa lakal hamdu.” Kemudian Allâh menurunkan (ayat), “Tak ada sedikitpun campur tanganmu dalam urusan mereka itu atau Allâh menerima taubat mereka, atau mengazab mereka, karena sesungguhnya mereka itu orang-orang yang zalim.” (Ali ‘Imran/3:128) [HR. Al-Bukhâri, no. 4069]
Di dalam riwayat lain, disebutkan nama-nama orang yang didoakan celaka oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dari Salim bin Abdullah Radhiyallahu anhu, dia berkata:
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ” يَدْعُو عَلَى صَفْوَانَ بْنِ أُمَيَّةَ، وَسُهَيْلِ بْنِ عَمْرٍو، وَالحَارِثِ بْنِ هِشَامٍ فَنَزَلَتْ {لَيْسَ لَكَ مِنَ الأَمْرِ شَيْءٌ} إِلَى قَوْلِهِ – {فَإِنَّهُمْ ظَالِمُونَ}
Dahulu Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mendoakan celaka kepada Shofwan bin Umayyah, Suhail bin ‘Amr, dan Al-Harits bin Hisyam. Lalu turun ayat, “Tak ada sedikitpun campur tanganmu dalam urusan mereka itu atau Allâh menerima taubat mereka, atau mengazab mereka, karena sesungguhnya mereka itu orang-orang yang zalim.” (Ali ‘Imran/3:128) [HR. Al-Bukhâri, no. 4070]
Qunut Nâzilah ini terjadi sesudah perang Uhud, sebagaimana dikatakan oleh banyak ulama. Dan telah diketahui bahwa perang Uhud terjadi pada tahun 3 Hijriyah. Imam Al-Baihaqi berkata: “Hal ini terjadi dari Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam perang Uhud”. [Ma’rifah As-Sunan wal Âtsar, 3/118, no. 3940]
Kemudian Imam al-Baihaqi rahimahullah menyebutkan dalilnya:
فَفِي رِوَايَةِ عُمَرَ بْنِ حَمْزَةَ، عَنْ سَالِمٍ، عَنِ ابْنِ عُمَرَ قَالَ: صَلَّى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، صَلَاةَ الصُّبْحِ يَوْمَ أُحُدٍ، فَلَمَّا رَفَعَ رَأْسَهُ مِنَ الرَّكْعَةِ الثَّانِيَةِ، فَقَالَ: «سَمِعَ اللَّهُ لِمَنْ حَمِدَهُ» قَالَ: «اللَّهُمَّ الْعَنْ»، فَذَكَرَهُمْ إِلَّا أَنَّهُ ذَكَرَ أَبَا سُفْيَانَ بَدَلَ سُهَيْلٍ، فَنَزَلَتْ: {لَيْسَ لَكَ مِنَ الْأَمْرِ شَيْءٌ، أَوْ يَتُوبَ عَلَيْهِمْ} [آل عمران: 128]، فَتَابَ اللَّهُ عَلَيْهِمْ، فَأَسْلَمُوا، فَحَسُنَ إِسْلَامُهُمْ
Di dalam riwayat Umar bin Hamzah, dari Salim, dari Ibnu Umar, dia berkata: Rasûlullâh melakukan shalat Subuh (sesudah) perang Uhud, ketika Beliau telah mengangkat kepalanya (dari ruku’) pada raka’at kedua, Beliau mengucapkan “Sami’Allâhu liman hamidah”, Beliau berdoa, “Ya Allâh, laknatlah”. Beliau menyebutkan nama-nama itu, tetapi Beliau menyebut Abu Sufyan sebagai ganti Suhail. Lalu turun ayat, “Tak ada sedikitpun campur tanganmu dalam urusan mereka itu atau Allâh menerima taubat mereka, atau mengazab mereka, karena sesungguhnya mereka itu orang-orang yang zhalim.” (QS. Ali ‘Imran/3:128) Allâh Kemudian menerima taubat mereka, mereka masuk Islam, dan Islam mereka bagus”. [Ma’rifah As-Sunan wal Aatsar, 3/119, no. 3940]
Kemudian Imam al-Baihaqi rahimahullah berkata:
فَكَانَ هَذَا بِأُحُدٍ، وَقَتْلُ أَهْلِ بِئْرِ مَعُونَةَ، كَانَ بَعْدَ أُحُدٍ، وَقَدْ قَنَتَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَعْدَهُ، وَدَعَا عَلَى مَنْ قَتَلَهُمْ، دَلَّ أَنَّ هَذِهِ الْآيَةَ، لَمْ تُحْمَلْ عَلَى نَسْخِ الْقُنُوتِ جُمْلَةً، فَإِنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَقْنُتُ بَعْدَ نُزُولِ هَذِهِ الْآيَةِ، إِلَّا أَنَّهُ كَانَ يَلْعَنُ مَنْ قَتَلَهُمْ بِأَعْيَانِهِمْ شَهْرًا، ثُمَّ تَرَكَ اللَّعْنَ عَلَيْهِمْ، وَيَدْعُو لِلْمُسْتَضْعَفِينَ بِمَكَّةَ بِأَسْمَائِهِمْ، ثُمَّ لَمَّا قَدِمُوا تَرَكَ الدُّعَاءَ لَهُمْ
“Maka ini terjadi setelah perang Uhud. Kemudian Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan qunut lagi setelah itu, yaitu mendoakan kecelakaan orang-orang yang telah membunuh para sahabat di Bi’ir Ma’unah. Ini menunjukkan bahwa ayat ini tidak difahami menghapus qunut secara total, karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan qunut lagi setelah turun ayat ini. Yaitu Beliau melaknat orang-orang yang membunuh para sahabat selama sebulan, kemudian Beliau meninggalkannya. Dan Beliau mendoakan umat Islam yang tertindas di Makkah dengan menyebut nama-nama mereka, kemudian ketika mereka ini sudah sampai (di Madinah) beliau meninggalkan doa untuk mereka”. [Ma’rifah As-Sunan wal Aatsar, 3/119, no. 3944]
Termasuk yang menguatkan bahwa ayat di atas turun setelah perang Uhud adalah hadits berikut ini:
عَنْ أَنَسٍ، أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كُسِرَتْ رَبَاعِيَتُهُ يَوْمَ أُحُدٍ، وَشُجَّ فِي رَأْسِهِ، فَجَعَلَ يَسْلُتُ الدَّمَ عَنْهُ، وَيَقُولُ: «كَيْفَ يُفْلِحُ قَوْمٌ شَجُّوا نَبِيَّهُمْ، وَكَسَرُوا رَبَاعِيَتَهُ، وَهُوَ يَدْعُوهُمْ إِلَى اللهِ؟»، فَأَنْزَلَ اللهُ عَزَّ وَجَلَّ: {لَيْسَ لَكَ مِنَ الْأَمْرِ شَيْءٌ}
Dari Anas, bahwa gigi geraham Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam patah pada perang Uhud, dan kepala Beliau terluka. Beliau mengeluarkan darah dari kepalanya dan berkata, “Bagaimana akan beruntung suatu kaum yang melukai kepala Nabi mereka dan mematahkan gigi gerahamnya, sedangkan dia mengajak mereka kepada Allâh?”. Kemudian Allâh menurunkan “Tak ada sedikitpun campur tanganmu dalam urusan mereka itu.” (Ali ‘Imran/3:128) [HR. Muslim, no.1791]
2. Qunut Nâzilah Sesudah Peritiwa Bi’ir Ma’unah (tahun 4 H)
Kejadian ini disebutkan di dalam kitab-kitab sejarah terjadi pada tahun 4 Hijriyah. Kejadian ini diriwayatkan di dalam beberapa hadits, antara lain hadits berikut ini:
عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، أَنَّ رِعْلًا، وَذَكْوَانَ، وَعُصَيَّةَ، وَبَنِي لَحْيَانَ، اسْتَمَدُّوا رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى عَدُوٍّ، فَأَمَدَّهُمْ بِسَبْعِينَ مِنَ الأَنْصَارِ، كُنَّا نُسَمِّيهِمْ القُرَّاءَ فِي زَمَانِهِمْ، كَانُوا يَحْتَطِبُونَ بِالنَّهَارِ، وَيُصَلُّونَ بِاللَّيْلِ، حَتَّى كَانُوا بِبِئْرِ مَعُونَةَ قَتَلُوهُمْ وَغَدَرُوا بِهِمْ، فَبَلَغَ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ «فَقَنَتَ شَهْرًا يَدْعُو فِي الصُّبْحِ عَلَى أَحْيَاءٍ مِنْ أَحْيَاءِ العَرَبِ، عَلَى رِعْلٍ، وَذَكْوَانَ، وَعُصَيَّةَ، وَبَنِي لَحْيَانَ» قَالَ أَنَسٌ: ” فَقَرَأْنَا فِيهِمْ قُرْآنًا، ثُمَّ إِنَّ ذَلِكَ رُفِعَ: بَلِّغُوا عَنَّا قَوْمَنَا أَنَّا لَقِينَا رَبَّنَا فَرَضِيَ عَنَّا وَأَرْضَانَا “
Dari Anas bin Malik, bahwa (suku) Ri’il, Dzakwan, Ushoyyah, dan Bani Lahyan meminta bantuan orang kepada Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk menghadapi musuh, Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan bantuan 70 orang Anshor. Kami menyebut mereka sebagai Qurra’ (Para hafizh) di zaman mereka. Kebiasaan Qurra’ ini adalah mencari kayu bakar di siang hari dan melaksanakan shalat lail di malam hari. Ketika 70 orang Anshor ini berada di Bi’ir Ma’unah, mereka dibunuh dan dikhianati oleh suku Ri’il, Dzakwan, Ushoyyah, dan Bani Lahyan. Berita ini sampai kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , maka Beliau melakukan Qunut Nâzilah selama sebulan pada shalat Shubuh mendoakan kecelakaan terhadap suku-suku Arab itu, yaitu Ri’il, Dzakwan, Ushoyyah, dan Bani Lahyan.
Anas berkata, “Kami pernah membaca ayat Qur’an diturunkan tentang orang-orang yang dibunuh tersebut, kemudian ayat tersebut dihapus. (Yaitu ayat): “Sampaikanlah kepada kaum kami, bahwa kami telah bertemu dengan Rabb kami, maka Dia ridha kepada kami dan kami ridha kepada-Nya”. [HR. Al-Bukhâri, no. 4090]
3. Qunut Nâzilah untuk para Sahabat yang disiksa di Makkah (antara tahun 7 H – 8 H)
Abu Hurairah Radhiyallahu anhu bercerita:
أَنَّ النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- قَنَتَ بَعْدَ الرَّكْعَةِ فِى صَلاَةٍ شَهْرًا إِذَا قَالَ «سَمِعَ اللَّهُ لِمَنْ حَمِدَهُ» يَقُولُ فِى قُنُوتِهِ « اللَّهُمَّ أَنْجِ الْوَلِيدَ بْنَ الْوَلِيدِ اللَّهُمَّ نَجِّ سَلَمَةَ بْنَ هِشَامٍ اللَّهُمَّ نَجِّ عَيَّاشَ بْنَ أَبِى رَبِيعَةَ اللَّهُمَّ نَجِّ الْمُسْتَضْعَفِينَ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ اللَّهُمَّ اشْدُدْ وَطْأَتَكَ عَلَى مُضَرَ اللَّهُمَّ اجْعَلْهَا عَلَيْهِمْ سِنِينَ كَسِنِى يُوسُفَ». قَالَ أَبُو هُرَيْرَةَ ثُمَّ رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- تَرَكَ الدُّعَاءَ بَعْدُ فَقُلْتُ أُرَى رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- قَدْ تَرَكَ الدُّعَاءَ لَهُمْ – قَالَ – فَقِيلَ وَمَا تَرَاهُمْ قَدْ قَدِمُوا
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan qunut setelah bangkit dari ruku’ di dalam sebuah shalat selama sebulan. Yaitu setelah Beliau mengucapkan “Sami’allâhu liman hamidah”, Beliau berdoa di dalam qunutnya: “Ya Allâh! Selamatkanlah al-Walid bin al-Walid. Ya Allâh! Selamatkanlah Salamah bin Hisyam. Ya Allâh! Selamatkanlah ‘Ayyash bin Abi Rabi’ah. Ya Allâh! Selamatkanlah orang-orang lemah dari kaum Mukminin. Ya Allâh! Keraskanlah siksa-Mu kepada suku Mudhar. Ya Allâh! Jadikanlah tahun-tahun paceklik kepada mereka seperti tahun-tahun paceklik di zaman Nabi Yusuf.”
Abu Hurairah Radhiyallahu anhu berkata, “Setelah itu aku lihat Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam meninggalkan doa (qunut) itu, maka aku bertanya, “Aku lihat Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam meninggalkan doa (qunut) untuk mereka”. Maka dijawab, “Tidakkah engkau lihat mereka sudah sampai (di Madinah)”.[HR. Muslim, no.1574]
Kapan doa qunut ini dilakukan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Imam al-Baihaqi menjelaskan hal ini. Beliau rahimahullah berkata:
وَهَذَا كَانَ قَبْلَ الْفَتْحِ بِيَسِيرٍ، وَإِنَّمَا أَسْلَمَ أَبُو هُرَيْرَةَ فِي غَزْوَةِ خَيْبَرَ، وَهُوَ بَعْدَ نُزُولِ الْآيَةِ بِكَثِيرٍ، دَلَّ أَنَّ الْآيَةَ لَمْ تُحْمَلْ عَلَى نَسْخِ الْقُنُوتِ
“Hal ini terjadi tidak lama sebelum penaklukan kota Makkah. Karena Abu Hurairah masuk Islam pada perang Khaibar, dan ini sangat jauh dari turunnya ayat (Ali Imran ayat:128). Ini menunjukkan bahwa ayat tersebut tidak menghapus qunut”. [Ma’rifah As-Sunan, 3/120, no. 3946]
Kemudian perlu diketahui bahwa hadits yang meriwayatkan bahwa turunnya surat Ali Imrân ayat ke-128 adalah dalam peristiwa qunut Nâzilah sesudah kisah Bi’ir Ma’unah atau sesudah qunut Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk para Sahabat di Makkah, haditsnya dha’if (lemah). Karena telah pasti bahwa turunnya ayat tersebut dalam peristiwa qunut Nâzilah sesudah perang Uhud. Lihat penjelasan Imam al-Baihaqi di dalam kitab Ma’rifah As-Sunan wal Âtsar, 3/117, no. 3935 dan 3936.
Hadits tersebut sebagai berikut : Abu Hurairah Radhiyallahu anhu bercerita:
كَانَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، يَقُولُ حِينَ يَفْرُغُ مِنْ صَلَاةِ الْفَجْرِ مِنَ الْقِرَاءَةِ، وَيُكَبِّرُ وَيَرْفَعُ رَأْسَهُ: «سَمِعَ اللهُ لِمَنْ حَمِدَهُ، رَبَّنَا وَلَكَ الْحَمْدُ»، ثُمَّ يَقُولُ وَهُوَ قَائِمٌ: «اللهُمَّ أَنْجِ الْوَلِيدَ بْنَ الْوَلِيدِ، وَسَلَمَةَ بْنَ هِشَامٍ، وَعَيَّاشَ بْنَ أَبِي رَبِيعَةَ وَالْمُسْتَضْعَفِينَ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ، اللهُمَّ اشْدُدْ وَطْأَتَكَ عَلَى مُضَرَ وَاجْعَلْهَا عَلَيْهِمْ كَسِنِي يُوسُفَ، اللهُمَّ الْعَنْ لِحْيَانَ، وَرِعْلًا، وَذَكْوَانَ، وَعُصَيَّةَ عَصَتِ اللهَ وَرَسُولَهُ»، ثُمَّ بَلَغَنَا أَنَّهُ تَرَكَ ذَلِكَ لَمَّا أُنْزِلَ: {لَيْسَ لَكَ مِنَ الْأَمْرِ شَيْءٌ أَوْ يَتُوبَ عَلَيْهِمْ أَوْ يُعَذِّبَهُمْ فَإِنَّهُمْ ظَالِمُونَ}
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah melakukan qunut setelah selesai membaca di dalam shalat Shubuh, Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bertakbir dan mengangkat kepala (dari ruku’) Beliau mengucapkan “Sami’allâhu liman hamidah”, kemudian Beliau berdoa dalam keadaan berdiri: “Ya Allâh! Selamatkanlah al-Walid bin al-Walid, Salamah bin Hisyam, ‘Ayyash bin Abi Rabi’ah., dan orang-orang lemah dari kaum Mukminin. Ya Allâh! Keraskanlah siksa-Mu kepada suku Mudhar, jadikanlah tahun-tahun paceklik kepada mereka seperti tahun-tahun paceklik di zaman Nabi Yusuf”. Ya Allâh! laknatlah suku Lahyan, Ri’il, Dzakwan, dan Ushayyah, mereka telah bermaksiat kepada Allâh dan Râsul-Nya”.
Kemudian sampai kepada kami bahwa Beliau meninggalkannya ketika diturunkan: “Tak ada sedikitpun campur tanganmu dalam urusan mereka itu atau Allâh menerima taubat mereka, atau mengazab mereka, sesungguhnya mereka itu orang-orang yang zalim.” (Ali ‘Imran/3: 128) [HR. Muslim, no. 675]
Kalimat terakhir di dalam hadits ini, yakni mulai doa laknat kepada suku-suku di atas, sampai kalimat “Kemudian sampai kepada kami bahwa beliau meninggalkannya ketika diturunkan…” adalah dha’if sebagaimana dijelaskan para ahli ilmu. Karena riwayat tersebut munqothi’ (putus).
Ibnu Hajar rahimahullah berkata, “Perkataan, “Sampai Allâh menurunkan ayat “ Tak ada sedikitpun campur tanganmu dalam urusan mereka itu”, telah lewat kemusykilannya dalam pembahasan perang Uhud. Karena kisah Ri’il dan Dzakwan terjadi sesudah perang Uhud, sedangkan turunnya ayat “Tak ada sedikitpun campur tanganmu dalam urusan mereka itu”, terjadi dalam kisah perang Uhud. Maka bagaimana mungkin sesuatu yang menjadi sebab turunnnya datang belakangan setelah turunnya ayat? Kemudian Tampak bagiku kecacatan hadits, yaitu adanya (kalimat) sisipan, bahwa perkataan “Sampai Allâh menurunkan ayat” adalah munqathi’ (putus) dari riwayat Zuhri dari orang yang menyampaikan kepadanya. Ini dijelaskan oleh Imam Muslim dari riwayat Yunus yang telah disebutkan. Zuhri t berkata di sini, “Kemudian sampai kepada kami bahwa beliau meninggalkannya ketika ayat turun”, berita Zuhri ini tidak sah sebagaimana telah kami sebutkan”. [Fathul Bari, 8/227]
TATA CARA QUNUT NAZILAH
Dengan hadits-hadits di atas juga hadits lainnya, dapat diringkaskan tata cara qunut Nâzilah sebagai berikut:
1. Disyari’atkan qunut ketika terjadi Nâzilah
Sebagaimana telah dilakukan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam di dalam hadits-hadits yang telah dibahas di atas
2. Lama qunut Nâzilah adalah sebulan atau ketika musibah sudah selesai
Sebagaimana qunut nâzilah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika mendoakan celaka suku-suku yang durhaka, dan mendoakan keselamatan para sahabat di Makkah.
3. Qunut Nâzilah dilakukan di dalam shalat lima waktu
Syaikhul Islam berkata, “Disyariatkan doa qunut saat terjadi musibah pada shalat Shubuh dan shalat wajib yang lain, untuk mendoakan kaum Mukminin dan mendoakan keburukan untuk kaum kuffar.” [Majmû’ Fatâwâ, 22/ 270]
Hal ini ditunjukkan oleh beberapa hadits, antara lain:
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ، قَالَ: ” قَنَتَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ شَهْرًا مُتَتَابِعًا فِي الظُّهْرِ، وَالْعَصْرِ، وَالْمَغْرِبِ، وَالْعِشَاءِ، وَالصُّبْحِ، فِي دُبُرِ كُلِّ صَلاةٍ، إِذَا قَالَ: سَمِعَ اللهُ لِمَنْ حَمِدَهُ، مِنَ الرَّكْعَةِ الْأَخِيرَةِ، يَدْعُو عَلَيْهِمْ، عَلَى حَيٍّ مِنْ بَنِي سُلَيْمٍ، عَلَى رِعْلٍ وَذَكْوَانَ وَعُصَيَّةَ، وَيُؤَمِّنُ مَنْ خَلْفَهُ، أَرْسَلَ إِلَيْهِمْ يَدْعُوهُمْ إِلَى الْإِسْلامِ، فَقَتَلُوهُمْ
Dari Ibnu Abbas, dia berkata: “Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan qunut selama sebulan dan dilakukan berturut-turut pada shalat Zhuhur, Ashar, Maghrib, Isya, dan shalat Shubuh pada setiap raka’at terakhir setelah membaca “Sami’allâhu liman hamidah” Beliau mendoakan kehancuran bagi suku dari Bani Sulaim, Ri’il, Dzakwan dan Ushayyah. Kemudian orang-orang dibelakangnya mengamini. Nabi mengirim para sahabat kepada mereka untuk mengajak Islam, tetapi mereka membunuh para Sahabat itu” . [HR. Ahmad, no.2746; Abu Dawud, no.1443; dll. Dishahihkan oleh an Nawawi dalam Al Majmu’, 3/482; Ibnul Qoyyim dalam Zâdul Ma’ad, 1/208/1; Ahmad Syakir dalam Ta’liq Musnad Ahmad; Syu’aib al-Arnauth dalam Takhrij Musnad Ahmad; dan dihasankan al-Albani di dalam Shahih Sunan Abi Dawud]
Hal ini juga ditunjukkan hadits berikut ini:
عَنِ الْبَرَاءِ بْنِ عَازِبٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ ” لَا يُصَلِّي صَلَاةً مَكْتُوبَةً إِلَّا قَنَتَ فِيهَا “
Dari Al-Baro’ bin ‘Azib, bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak melaksanakan shalat wajib kecuali Beliau melakukan qunut padanya. [HR. Al-Baihaqi dalam Sunan Kubro, no. 3092; Daruquthni, no. 1687; Thobroni dalam Al-Ausath, no. 9450. Dihasankan oleh al-Albani dalam Ashlus Sifat Sholat Nabi, 3/962]
4. Dilakukan pada raka’at terakhir setelah bangkit dari ruku’
Hal ini ditunjukkan oleh hadits-hadits di atas.
5. Qunut Nâzilah dibaca keras oleh imam.
Hal ini diketahui dengan doa-doa qunut yang didengar para sahabat, kemudian mereka meriwayatkannya. Ini berarti bahwa doa qunut dibaca dengan keras. Demikian juga makmum mengaminkan, sebagaimana disebutkan di dalam hadits yang shahih, maka otomatis imam membaca doa itu dengan keras.
Imam An Nawawi rahimahullah berkata: “Hadits tentang qunut Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam saat dibunuhnya para pembaca Al Qur’an g menetapkan bahwa doa qunut dibaca dengan suara keras pada setiap shalat. Inilah pendapat yang kuat.” [Al Majmu’, 3/482]
6. Makmun mengaminkan doa qunut Nâzilah.
Sebagaimana hadits Ibnu Abbas di atas.
7. Disyari’atkan mengangkat kedua tangan, namun tidak mengusapkan ke wajah.
Anas bin Malik bercerita tentang qunut Nâzilah Nabi ketika dibunuhnya para Qurrâ’:
فَمَا رَأَيْتُ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَجَدَ عَلَى شَيْءٍ قَطُّ، وَجْدَهُ عَلَيْهِمْ، فَلَقَدْ رَأَيْتُ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كُلَّمَا صَلَّى الْغَدَاةَ رَفَعَ يَدَيْهِ فَدَعَا عَلَيْهِمْ
Aku tidak menemui Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersedih sebagaimana bersedihnya Beliau terhadap (terbunuhnya) mereka. Aku telah melihat Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam setiap shalat Subuh mengangkat kedua tangannya mendoakan kecelakaan kepada mereka. [HR. Ahmad, no. 12402. Dishahihkan oleh Syu’aib al-Arnauth di dalam Takhrij Musnad Ahmad dengan syarat Imam Muslim]
Adapun tidak mengusapkan ke wajah karena tidak ada riwayat shahih dalam masalah ini.
8. Doa qunut Nâzilah adalah ringkas dan sesuai dengan keadaan yang terjadi.
Sebagaimana kita lihat doa-doa Nabi di dalam qunut-qunut Beliau.
Inilah sedikit pembahasan tentang qunut Nâzilah, semoga bermanfaat bagi kita semua. Al-hamdulillâhi Rabbil ‘Alamin.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 10/Tahun XX/1438H/2017M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196.Kontak Pemasaran 085290093792, 08121533647, 081575792961, Redaksi 08122589079]
Artikel asli: https://almanhaj.or.id/9470-tuntunan-qunut-nzilah.html